Dengan jumlah pelanggan telekomunikasi lebih dari 200 juta, Indonesia memiliki prospek cerah untuk menggelar layanan transaksi keuangan melalui perangkat bergerak. Ada beberapa tantangan yang harus dihadapi untuk suksesnya mobile payment.
Jumlah pengguna handphone ternyata tak berbanding lurus dengan penggunaan mobile money. Itulah data yang dirilis lembaga riset Gartner. Di Asia Pasifik – termasuk Indonesia- merupakan pengguna mobile payment terbesar dengan angka 70,2 juta pada 2009 dan berkembang menjadi sekitar 108,6 juta di akhir 2010. Tetapi khusus di Indonesia, potensi penggunaan mobile money belum maksimal.
Padahal bila dilihat dari sisi pemakai handphone, Indonesia amat potensial bagi pengembangan mobile money. Terlebih sebagai negara berkembang, Indonesia butuh alat pembayaran melalui handphone karena tidak semua konsumen terjangkau oleh layanan perbankan. Asumsi ini sesuai dengan data yang dirilis operator Telkomsel yang menunjukkan hingga 2010 baru 80 juta orang yang memiliki rekening bank dan sisanya sebanyak 160 juta belum mempunyai. Jumlah sebanyak itu menjadi target mobile money, yakni transaksi pembayaran melalui handphone yang sudah menjangkau hingga pelosok.
Besarnya potensi di negara berkembang itu yang membuat Global Mobile Payment Forecast berani memprediksi bahwa di tahun 2014 akan terdapat 622 juta pengguna mobile paymet di Asia Pasifik dengan jumlah transaksi lebih dari 62 miliar. Sementara transaksinya akan berkembang mencapai US$ 316 miliar dengan rata-rata pertumbuhan per tahun 94,1%. Dalam konteks Indonesia, Masyarakat Telekomunikasi Indonesia (Mastel) baru saja menggelar seminar “Indonesia Mobile Payment, Financial and Digital Inclusion, Challenges and Opportunities" yang berlangsung di Jakarta (06/04/2011).
Menurut Heru Sutadi, pembicara dari Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) ada beberapa hal yang menjadi penghambat untuk mencapai potensi dan pemenuhan kebutuhan dasar konsumen. “Setidaknya ada empat penghambat di mobile money yaitu akses, keamanan, biaya dan regulasi,” ungkapnya. Sementara di sisi perbankan, faktor penyebab belum berkembangnya mobile money di Indonesia yakni kenyamanan. Kebanyakan konsumen perbankan masih nyaman untuk melakukan transaksi melalui teller di bank atau ATM, tetapi belum untuk transaksi perbankan melalui handphone. "Dari hasil riset kami, hanya 6 persen konsumen yang merasa nyaman menggunakan layanan mobile banking," ungkap Budiman Poedjirahardjo, Head of Card Merchant & Mortage CIMB Niaga.
Mastel berpandangan lain. Organisasi telekomunikasi ini beranggapan kalau kebanyakan pelaku industri masih cenderung ekslusif menjadi penyelenggara sendiri. “Dimaklumi bahwa karakter para pelaku industri seluler dan pelaku industri secara umum di Indonesia masih sulit diajak bersinergi,” kata Setyanto P Santosa, Ketua Umum Mastel. Hal ini karena baik bank maupun operator selular dihadapkan pada kondisi persaingan memperebutkan pasar micro-payment, sehingga terjadi semacam “telco-sentris” dan “bank sentris”.
Menurut Setyanto, akan lebih menguntungkan jika mereka mau bergabung terutama dari sisi sinergi infrastruktur. “Mobile payment di Indonesia bisa meraih kesuksesan jika operator telekomunikasi dan bank mau bersinergi membangun ekosistem di industri,” paparnya. Hal senada diungkapkan oleh Ernest Lo, Senior Client Partner, Head of Mobile Money Solution Huawei. “Untuk menjalankan mobile money, Indonesia sudah memiliki infrastruktur, pelanggan baik dari operator maupun nasabah bank. Hanya perlu membangun ekosistem dan menyinergikan antara regulator, operator telekomunikasi, bank, merchant, dan pengguna,” jelasnya.
Nah, jika mobile money berjalan mulus, maka industri telekomunikasi dan perbankan bisa menggerakkan perekonomian dengan lebih efisien dan efektif.